Senin, 27 Agustus 2007

Abdullah bin Abbas



Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih becil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasuluilah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ....

Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari "habar" atau kyahi atau lengkapnya "kyahi ummat", suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahuannya yang luas.

Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu'akannya: -
"Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil".

Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan dimana Rasulullah mengulang-ulang du'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu ..., dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan.

Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya....

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya.

Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatn ilmu atau menghafaikan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya nntuk meneliti apa yang didengarnya.

Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

Pernah ia menceritakan pengalamannya: -- "Pernah aku bertanya kepada tigapuluh orang shahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam mengenai satu masalah". Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut: -

"Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat, kakatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: "Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?"

Jawab pemuda Anshar itu:
"Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kan lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah ... ?" Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.

Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur slang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: -- "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?" "Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya ... !"

Demikianlah pemuda kita yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya "pemuda tua" ... !

Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:
"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?"

Jawabnya: -"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !"

Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyahi ummat ini".

Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :-

Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!"

Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin 'Utbah berkata:-
"Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam daripada Ibnu Abbas... !

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya ... ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya ....

Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ....

Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir -Quran, ilmu hisab dan seal pembagian pusaka daripadanya ... ! Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya... !"

Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: -- (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali)

"Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara ....

1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.

2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara.

3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.

1. Menjauhi sifat mengambil muka.

2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi.

3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.

Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu.

Maka ia pun menjadi tepatan bagi orang-orang pang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.

Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.

Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman ....Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara ... !

Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu ... ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu slat yang paring ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran ... !

Dan memang, telah lama ia ditabuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini: -

Tanya Ibnu Abbas: -- "Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali ... ?"

Ujar mereka: -"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: -

Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: '"Tak ada hukum kecuali bagi Allah ... !')

Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil barta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya ... !)

Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu'min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir... !"3)

Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya: -- "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya ... ?

Bukankah Allah telah berfirman:

"Hai orang-orang beriman! Janganlah halian membunuh binatang buruan, sewaktu halian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewran yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hahimnya ... !" (Q.S. 5 al-hlaidah: 95)

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"

Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian "kyai ummat ini" melanjutkan bantahannya: -

"Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan ... ?"

Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena main, lain menutupi muka mereka dengan tangan ...,sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: -

"Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penuiis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu ... ! Maka tulislah:

Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"
Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya…"

Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya:
"Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"

Demikianlah, dengan cara yang menarik( dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali... !

Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, Ia bagaikan Imam dengan,panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah ruahkan ilmunya kepada mereka....

Orang-orang yang sesama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut: -- "Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas ... !"

Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga.

Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan...!

Katanya mengenai dirinya: -
"Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu ... ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendu'akannya ..., padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya ... ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut...!"

Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat ..., sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, balk di kala ia shalat maupun sewaktu membaca alquran ....Dan ketika ia membaca ayat-ayat alquran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi ... !

Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat ... ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukban tingginya kecerdasan dan banyaknya akal serta siasatnya .... Ia lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunahan fikiran daripada paksaan...!

Tatkala Husein radhiallahu anhu bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.

Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, beriunak lembut dan melenyapkan kesalah-pahaman

Benar ia ikut tejun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu'awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat... !

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya - · · · Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung · - · · Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu'min diiringkan menuju surganya.

Dan tatkala tubuh kasamya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:

"Wahai jiwa yang aman tenteram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaKu.

الدعوة بين الوسائل والتخطيط

الدعوة بين الوسائل والتخطيط

- التخطيط يحدد أهداف الدعاة وغايات البرامج

والمشروعات الدعوية

- يُحدث التخطيط كثيرًا من الانسجام والتناسق بين أعمال الداعية

- أعظم وسيلة للدعوة إلى الله هي تعلم القرآن وتعليمه

- وسائل الإعلام منبر مهم لا ينبغي الاستهانة به

- - هم الدعوة إلى الله لا بد أن يحمله كل مسلم

لا شك أن الدعوة إلى الله هم يؤرق كل عاقل لبيب حتى يصل من خلاله إلى ما يصبو إليه من هداية الحيارى من بني البشر ،

وقد طرق هذاالموضوع كثيرا ، إلا أننا سنتطرق في هذه الأسطر إلى جانبي التخطيط للدعوة والوسائل الدعوية

التخطيط الدعوي:

إن كل داعية إنما يهدف من وراء دعوته إلى تحقيق جملة من الأهداف إذن: فما هي أهدافه؟

ولديه العديد من الوسائل التي ينوي القيام بها: فما هي أفضل هذه الوسائل لتحقيق أهدافه؟

ويطمح لأن تتحقق أهدافه ومقاصده: فكيف تتحقق هذه الأهداف بالشكل المطلوب؟

ويرد في ذهنه العديد من العوائق والصعوبات عند رسم برامجه: فما السبيل لتلافي هذه المعوقات وتوقعها مسبقًا؟

إن هذه الخواطر والتساؤلات تبرز مسيس الحاجة إلى التخطيط في برامجنا الدعوية؛ لأن ضعف جانب التخطيط أحيانًا وانعدامه في أحيان أخرى أسهم في إضاعة الكثير من جهود الدعاة وأضعف ثمار أعمالهم الدعوية وأضحى الكثير من البرامج تنفذ لمجرد التنفيذ فقط أو لتكون أرقامًا تضاف إلى أعداد البرامج المنفذة.

وإذا تأملت في آثارها فلا تكاد تجد لها أثرًا في الواقع أو أنها قد حققت الحد الأدنى من أهدافها، وبتتبع معظم السلبيات في الجهود الدعوية نجد أن الكثير منها يمكن إرجاعه إلى ضعف أو انعدام التخطيط.

وهذا لا يعني إغفال العوامل الأخرى كسلامة المنهج وإخلاص النوايا لدى العاملين، وغيرها، ولكن هذه الجوانب قد تكون معلومة لدى معظم الدعاة وليست بخافية كما هو حال التخطيط الذي ما زال قليلاً أو شبه معدوم في واقع كثير من الدعاة أو الجهات العاملة في حقل الدعوة؛ وما زالت الارتجالية والعشوائية والفوضى المالية والإدارية أحيانًا هي السمة البارزة في كثير من الأعمال الدعوية.

إيجابيات التخطيط:

ويمكن أن نبرز أهم ما يمكن أن يسهم به التخطيط للنهوض بالأعمال الدعوية والارتقاء بها حتى تحقق أهدافها بإذن الله ــ تعالى ــ ثم بجهود الدعاة الصادقين المخلصين، وأبرز هذه الإيجابيات هي:

1 ــ أن التخطيط يحدد أهداف الدعاة وغايات البرامج والمشروعات الدعوية، كما يفيد في حسن الأداء أثناء التنفيذ والتقويم الدقيق بعد ذلك، وما زال هذا الأمر ــ وهو وضوح الهدف ــ غائبًا عن كثير من العاملين في الدعوة؛ فهو لا شك يدرك الهدف العام ــ وهو تبليغ دين الله ــ ولكنه قد يجهل الأهداف الخاصة لكل برنامج مما يُوجِد في كثير من الأحيان سلبيات كثيرة على هذه البرامج.

2 ــ يساعد التخطيط في اختيار طرق الدعوة المناسبة والملائمة لكل داعية بحسب قدراته وإمكاناته والمتوافقة مع طبيعة البرنامج والأهداف المرسومة له؛ وفي تحديد الرأي الأقرب للتقوى لكل برنامج فأحيانًا قد يختار الداعية أساليب للدعوة لا تؤدي إلى نجاح البرنامج: إما لعدم مناسبتها لأهداف البرنامج، أو لطبيعة البرنامج وأهدافه، أو لعدم مناسبتها لإمكانات من يتولى تنفيذ البرنامج وقدراته الدعوية، أو أنها غير ملائمة لبيئة الدعوة أو نوع المدعوين وطبيعتهم، وقد (يجتهد) الداعية أحيانًا في اختيار وسيلة غير منضبطة بضوابطها الشرعية.

3 ــ يجعل من السهل التوقع لمعوقات البرنامج الدعوي التي قد يفاجأ بها الداعية أثناء أو قبل تنفيذ البرنامج، ويتم هذا بالاستفادة من المعلومات والبيانات التي يجمعها واضع الخطة الدعوية مما يجعله ــ بإذن الله ــ أكثر أمانًا وأقل عرضة للمفاجآت التي قد تُذهب جهوده أو تضعف ثمارها إضافة إلى أنه يعالج الخطأ في الوقت المناسب وقبل أن يتراكم فيمنع الرؤية وتصعب معالجته.

4 ــ يسهم التخطيط في ترتيب الأوليات لدى العاملين والقائمين على البرنامج الدعوي مما يساعد في اختيار الأهم منها عند حدوث تضارب أو تداخل، أو عند الحاجة لتقديم برنامج على الآخر، أو إلغاء أحدهما، أو غير ذلك.

5 ــ يُحدث التخطيط كثيرًا من الانسجام والتناسق بين أعمال الداعية، مما يمنع الازدواجية والتضارب في أعماله وبرامجه فلا تضيع بفعل ذلك كثير من الجهود والأوقات التي يمكن استغلالها لتنفيذ برامج أخرى.

6 ــ يعمل التخطيط على توفير كثير من النفقات المالية والجهود البشرية التي توضع في غير موضعها بسبب ضعف التخطيط أو انعدامه مما يساعد على استثمار هذه الجهود والنفقات لإقامة برامج دعوية أخرى.

ولا شك أن عدم وجود تصور واضح للميزانيات المتوقعة لتنفيذ البرنامج هو من آثار ضعف التخطيط.

7 ــ يفيد التخطيط في تحديد مواعيد زمنية تضبط بدء الأنشطة وانتهاءها وهذا يجعل الداعية قادرًا على تقويم أعماله ومدى التزامه بالمدة الزمنية المحددة لتنفيذها، وكذلك في حسن التوقيت لإقامة البرامج ومنع التضارب مع أنشطة أخرى.

8 ــ يفيد التخطيط في التجديد في الأساليب والوسائل الدعوية وفي البعد عن الرتابة والتمسك بالأساليب التقليدية مع التمسك بثوابت المنهج الصحيح في الدعوة.

9 ــ يفيد التخطيط في التنسيق بين العاملين أو الجهات الدعوية في الساحة الدعوية بأشكال مختلفة سواء في التنسيق في توزيع المواقع الجغرافية، أو التخصص في البرامج الدعوية، أو غير ذلك. كما يفيد في منع التكرار في البرامج ويحول دون إضاعة الجهود أو إغفال برامج أخرى قد تكون الحاجة إليها أكثر.

10 ــ يفيد التخطيط في تقويم الواقع الدعوي في المواقع المختلفة التي تنفذ فيها الخطط الدعوية، وفي تحديد مواطن الضعف في الخطة أو في أسلوب التنفيذ ليتم تلافيها في الخطط القادمة؛ وهذا مما يؤكد أهمية التخطيط في أنه يساعد في عدم تكرار الأخطاء التي ترتكب، وفي عمل مراجعات شاملة في نهاية كل خطة دعوية ليتم تقويم النتائج والنسب المتحققة من أهدافها وأبرز سلبياتها وإيجابياتها.

11 ــ يجعل من السهل على الداعية أن يحصر حاجاته من البرامج والأنشطة والخطط اللازمة لتوجيه مسار الدعوة بالشكل الصحيح.

12 ــ يسهم في معرفة مواضع الضعف في القوى البشرية ومن ثَمَّ في تحديد البرامج التدريبية اللازمة للارتقاء بالكفايات الدعوية من كافة الجوانب العلمية والإدارية والقيادية.

وبعد أن سردنا جملة من إيجابيات الخطيط نأتي إلى المحور الثاني وهو بعض الأساليب التي يمكن أن يختطها الداعية في طريقه وهي كما يلي :

تعلم القرآن وتعليمه ونشره:

أعظم وسيلة للدعوة إلى الله هي تعلم القرآن وتعليمه، ونشره، فهو الكتاب المعجز الذي لا يمحوه الماء وهو الذي قال فيه رسـول الله صلى الله عليه وسلم: [ما من الأنبياء نبي إلا أعطي ما مثله آمن عليه البشر، وإنما كان الذي أوتيت وحياً أوحاه الله إلي، فأرجو أن أكون أكثرهم تابعاً يوم القيامة]!!

فكثرة اتباع الرسول صلى الله عليه وسلم إنما مرده إلى هذا القرآن الذي يقطع العذر، ويدمغ الباطل، ينفذ إلى القلوب ويدمع العين ويحيي موات القلوب، وينير البصائر. قال تعالى: {وكذلك أوحينا إليك روحاً من أمرنا ما كنت تدري ما الكتاب ولا الإيمان ولكن جعلناه نوراً نهدي به من نشاء من عبادنا.. وإنك لتهدي إلى صراط مستقيم صراط الله..}

فالعناية بكتاب الله حفظاً وفقهاً وتعليماً، ونشراً وترجمة لمعانيه من أكبر أسباب الهداية ونشر الإسلام في العالمين..

وقد أمرنا الله أن نجاهد به الكفار فقال تعالى: {ولو شئنا لبعثنا في كل قرية نذيراً* فلا تطع الكافرين وجاهدهم به جهاداً كبيراً

إعلاء منزلة الرسول صلى الله عليه وسلم في الأمة

ونشر كتب السنة:

الوسيلة الثانية من الوسائل العظمى في الدعوة إلى الله هي إعلاء منزلة رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأمة، ونشر كتب السنة، ورفعه ليكون هو الأسوة والقدوة لكل مسلم.

فالعناية بنشر صحيح السنة وتعليمها، والتفقه فيها، وتدريس سيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وجعله ماثلاً في العيان أمام كل مسلم ليأتسى به في حركاته وسكناته في إيمانه ويقينه وصبره، وجهاده، وعبادته، بل في سمته، وهديه، ومخرجه ومدخله .

هذه العناية بالسنة علماً ونشراً هي من أبلغ وسائل الدعوة إلى الله سبحانه وتعالى.

الإمام المسلم الداعي إلى الله:

قيام الإمام المسلم بما أوصى به الله سبحانه وتعالى عليه، والدعوة.. والأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر من أعظم الوسائل التي ينتشر بها الدين، ويتحقق بها أهداف الرسالة، كما قال عثمان بن عفان رضي الله عنه : (إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن) .

ومن أجل ذلك جعل الله الخلافة في الأرض لمن يقوم بهذه المهمة فقال جل وعلا: {الذين إن مكناهـم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ولله عاقبة الأمور) .

تجنيد الأمة كلها في الدعوة إلى الله:

الوسيلة العظمى الثانية بعد كتاب الله هي تجنيد الأمة كلها لتقوم بما فرض الله عليها في حمل رسالة الإسلام وتبليغها كما قال تعالى: {ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون} .

وقال: {كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله} .. وقال تعالى:{يا أيها الذين آمنوا اركعوا واسجدوا واعبدوا ربكم وافعلوا الخير لعلكم تفلحون* وجاهدوا في الله حق جهاده هو اجتباكم وما جعل عليكم في الدين من حرج ملة أبيكم إبراهيم هو سماكم المسلمين من قبل وفي هذا ليكون الرسول شهيداً عليكم وتكونـوا شهـداء على الناس فأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واعتصموا بالله هو مولاكم فنعم المولى ونعم النصير}

وقال صلى الله عليه وسلم: (بلغوا عني ولو آية) .. وقال صلى الله عليه وسلم أيضاً : (نضر الله امرءاً سمع منا شيئاً فبلغه كما سمعه فرب مبلغ أوعى من سامع) .

فيجب أن تهب الأمة بكاملها لنشر الدين، وإبلاغ رسالة الله للعالمين، وإخراج الناس من الظلمات إلى النور.

العلماء العاملون المربون:

الوسيلة العظيمة في الدعوة إلى الله هي وجود العلماء العاملين المربين إذ هم حياة الأمة، ونورها وقادتها وأولو الأمر فيها، فالعناية بوجود هؤلاء العلماء من أعظم ما ينفع أمة الإسلام.

والطريق إلى وجودهم يبدأ بتعليم النابهين والأذكياء من أطفال المسلمين بدءً بحفظ القرآن الكريم، ومتون علوم الإسلام ثم تهيئة الجو المناسب، لتفقههم، وزكاة نفوسهم، وتفرغهم لعمل الدعوة والتعليم، والتوجيه، وقد عز سلفنا الصالح رضوان الله عليهم عندما كان للعلماء فيهم مكانتهم فقد كانت الشعوب والعامة تسير في ركابهم، وتأتمر بأمرهم..

إحياء مهمة المسجد:

ومن الوسائل الناجحة في الدعوة إلى الله إحياء مهمة المسجد، وذلك بالحث على الجمع والجماعات، والجلوس لقراءة القرآن ومدارسته، وتعلم العلم وذكـر الله سبحانه، كما كان الشأن في مسجد رسـول الله صلى الله عليه وسلم ثم في المساجد التي أشرق فيها نور الإسلام، وأخرجت أجيالاً من العلماء والدعاة في العصور الزاهرة، كمساجد بغداد أيام العباسيين التي قيل فيها (من أراد أن يرى عز الإسلام فليصل الجمعة ببغداد‍‍)!!

إن مثل هذا المشهد وحده يملأ قلب المسلم عزاً بالإسلام، ويكسر قلوب أعداء الله كما قال الله في شأن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم: {ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطأه فآزره فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار)

المؤسسات التعليمية:

المؤسسات التعليمية وسيلة عظيمة في الدعوة إلى الله (فالكتّاب الصغير، ومركز تحفيظ القرآن، والمدرسة، والجامعة، والمعهد) هذه المؤسسات التعليمية إذا تيسر فيها المنهج الدراسي الجيد لدراسة الإسلام، والمعلمون المخلصون العالمون المربون، والنظام الجيد، فإن هذا يخرج أجيالاً من حملة الدين وعلماء الملة، وقادة الأمة.

وسائل الوسائل الإعلام:

مكن الله بالعلم الحديث الإنسان من استخدام آلات ووسائل بالغة التأثير يمكن للإنسان بواسطتها أن يسمع الألوف المؤلفة في وقت واحد، وأن يقرأ الملايين من الناس مقالة رجل واحـد في وقت واحد.. فجهاز التلفاز الذي يستطيع أن يراه أكثر من مائة مليون في وقت واحد بل عدة مئات من الملايين، والصحف السيارة التي تطبع في أماكن عديدة من العالم في وقت واحد، وجهاز المذياع الذي تسمع منه الرسالة الواحدة في كل أرجاء الدنيا في وقت واحد!!

إن هذه الآلات الضخمة أصبحت بالغة التأثير.. ولا مجال لمقارنتها مع الوسائل القديمة حيث كان يعتمد الخطيب أو المتكلم على صوته أو مكبر للصوت يسمع بضعة مئات أو آلاف من الناس.

أما اليوم فيستطيع نصف سكان الأرض وأكثر من ذلك أن يسمعوا رجلاً واحداً يخطبهم أو يعظهم أو يذكرهم، أو ينشر الشر والفساد بينهم.

وهناك وسائل عدة لا يتسع المقام لذكرها ، وعلى كل حال فهم الدعوة إلى الله لا بد أن يحمله كل مسلم ويسعى إلى كل ما من شأنه الرقي به ، فبه يتحقق الخلاص للبشرية من كل ما تشهده من الضياع والحل المزري ، ولا خلاص لها إلا بالإسلام دين الله الذي ارتضاه لعباده.

المراجع :

التخطيط في خدمة الدعوة إلى الله ، خالد الصقير

أعظم الوئل في الدعوة إلى الله ، عبد الرحمن عبد الخالق

محمد بن عبدالله الحارثي

Urgensi Mempelajari Syari'ah


1. Mengenal Syariah : Bagian dari Identitas Ke-Islaman Seseorang

Seorang muslim dengan seorang non muslim tidak dibedakan berdasarkan KTP-nya. Juga bukan berdasarkan ras, darah, golongan, bahasa, kebangsaan atau keturunan tertentu.Tetapi berdasarkan apa yang diketahuinya tentang ajaran Islam serta diyakini kebenarannya.

Tidak mungkin seorang bisa dikatakan muslim manakala dia tidak mengenal Allah SWT. Dan tidak-lah seseorang mengenal Allah SWT, manakala dia tidak mengenal ajaran-Nya serta syariat yang telah diturunkan-Nya.

Sehingga mengetahui ilmu-ilmu syariat merupakan bagian tak terpisahkan dari status keislaman seseorang. Maka sudah seharusnya seorang muslim menguasai ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta uraian dari perintah Allah SWT kepada hamba-Nya

2. Allah SWT Mewajibkan Setiap Muslim Belajar Syariah

Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh. Ilmu-ilmu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman :

...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)

Paling tidak, setiap muslim wajib melakukan thaharah, shalat, puasa, zakat dan bentuk ibadah ritual lainnya. Dan agar ibadah ritual itu bisa syah dan diterima oleh Allah SWT, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan improvisasi atau sekedar menduga-duga semata. Harus ada dasar dan dalil yang jelas dan kuat. Karena ibadah ritual itu tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Dan penjelasan secara rinci dan detail tentang bagaimana format dan bentuk ibadah yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau hanya ada dalam syariat Islam.

3. Syariah Adalah Kunci Memahami Al-Quran & As-Sunnah

Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Quran yang terdiri dari 6.600-an ayat dan Al-Hadits yang berjumlah ratusan ribu hadits. Namun bagaimana mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil yang sedemikian banyak, harus ada sebuah metodologi yang ilmiyah

Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah, maka Al-Quran dan As-Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkannya.

Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu Syariah adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.

Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, pembunh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian zahir nash ayat Al-Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangan ? Apakah semua orang yang berzina harus dirajam ? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga ?

Di dalam Syariah Islam akan dijelaskan pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.

Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.

Dan hal yang sama juga berlaku pada hukum qishash dan hukum-hukum hudud lainnya. Sebuha tindakan hukum yang hanya berlandaskan kepada satu dua dalil tapi tanpa kelengkapan ilmu syariah justru bertentangan dengan hukum Islam sendiri.

4. Ilmu Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam

Dibandingkan dengan masalah aqidah, ahlaq atau pun bidang lainnya, masalah syariah dan fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Bahkan yang disebut dengan `ulama` itu lebih identik sebagai orang yang ahli di syariah ketimbang ahli di bidang lainnya.

Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam, ilmu syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Seorang muslim itu masih wajar bila tidak menguasai ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab, Ushul Fqih, Kaidah Ushul dan lainnya. Tetapi khusus dalam ilmu syarriah khususnya fiqih, nyaris mustahil bila tidak dikuasai, meski dalam porsi yang seadanya. Sebab tidak mungkin kita bisa beribadah dengan benar tanpa menguasai ilmu fiqih ibadah itu sendiri.

Memang tidak semua detail ilmu syariah wajib dikuasai, namun untuk bagian yang paling dasar seperti masalah thaharah, shalat, nikah dan lainnya, mengetahui hukum-hukumnya adalah hal yang mutlak.

5. Tinginya Kedudukan Orang Yang Menguasai Syariah

Allah SWT telah meninggikan derajat orang yang memiliki ilmu syariah dengan firman-Nya :

...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah : 11)

Sehingga tampuk kepemimpinan skala mikro dan makro menjadi hak para ahli ilmu syariah. Seorang imam shalat diutamakan orang yang lebih mendalam pemahamannya. (afqahuhum). Bukan yang lebih tua, sudah menikah, lebih senior dalam struktur pergerakan, lebih tenar atau lebih punya kepemiminan. Namun imam shalat hendaklah orang yang lebih faqih dalam masalah agama.

Demikian juga hal yang terkait dengan kepemimpinan umat, yang lebih layak diangkat adalah mereka yang lebih punya kepahaman terhadap syarait. Sejak masa shahabat dan14 abad perjalanan umat, yang menjadi pemimpin umat ini adalah orang-orang yang paham dan mengerti syariah. Paling tidak, para khalifah dalam sejarah Islam selalu didampingi oleh ulama dan ahli syariah

6. Tidak Paham Syariah Adalah Akar Perpecahan

Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.

Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain.

Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada dalil yang sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling benar sendiri. Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih harus berhadapan dengan banyak dalil lainnya yang tidak kalah kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia merasa paling benar sendiri ?

Paling tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa pendapat yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana, masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama bersumber dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami perbandingan mazhab di kalangan para fuqaha, sebab mereka memang punya kapasitas untuk melakukan istimbath hukum dengan masing-masing menhaj / metodologinya

7. Keberadaan Ahli Syariah Sangat Menentukan Eksistensi Umat Islam

Agama Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai kiamat, namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi manakala para ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di tengah umat.

Sebaliknya, bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada umat Islam, niscaya akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali manusia kepada syariat-Nya.

8. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah di Bidang Syariah

Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah

Bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah lemah, maka dengan mudah pemikiran orientalis akan merasuk dan menjangkiti fikrah umat. Sebaliknya, bila umat ini punya tingkat pemahaman yang mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya itu akan menjadi mentah.

Pemahaman syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan fikrah umat. Sebaliknya, semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi bulan-bulanan pemikiran yang merusak.

9. Tanpa Ilmu Syariah Bisa Melahirkan Sikap Ekstrim Membabi Buta

Sikap-sikap ekstrim dan keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali menimpa banyak umat Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin menjalankan ajaran agama. Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu syariah yang benar, sangatbesar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang merugikan.

Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di kepala. Seharusnya dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun dia berjunub pada malamnya dan pagi hari dia bertanya kepada temannya, apakah dia harus mandi atau tidak. Temannya mengatakan bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama kemudian meninggal. Betapa sedih Rasulullah SAW tatkala mendengar kabar itu. Sebab teman yang memberi fatwa itu bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan kematian. Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, cukuplah dengan bertayammum saja. Maka dia sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski malamnya keluar mani.

10. Keharusan Ada Sebagian Dari Ummat Yang Mendalami Syariah
Kalau kita bandingkan antara jumlah orang awam dan jumlah para ulama, kita akan menemukan perbandingan yang jauh dari proporsional. Dengan kata lain, ulama di masa sekarang ini termasuk `makhluk langka` bahkan nyaris punah.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan atas jasa mereka selama ini, namun kenyataanya bahwa kebanyakan tokoh agama serta para penceramah yang kita dapati masih minim dari penguasan secara mendetail dalam kisi-kisi ilmu syariah. Tidak sedikit dari mereka yang sama sekali buta bahasa arab. Dan otomatis rujukan satu-satunya hanya buku terjemahan saja. Bahkan ketika membaca Al-Quran pun tidak paham maknanya. Apalagi membaca hadits-hadits nabawi. Dan jangan ditanya bagaimana mereka bisa merujuk kepada kajian syariah Islam dari para fuqaha sepanjang sejarah, karena nyaris semua literaturnya memang dalam bahasa arab.

Lalu kita bisa pikirkan sendiri bagaimana kualitas umatnya bila para tokoh agama pun masih dalam taraf yang kurang membahagiakan itu ?

Maka memperbanyak jumlah ulama serta menyebar-luaskan ilmu-ilmu syariah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT tentang keharusan adanya sekelompok orang yang berkonsentrasi mendalami ilmu-ilmu syariah.

Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)

11. Masuk Islam Secara Kaaffah : Mustahil Tanpa Syariah
Sebagai muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam, tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak sepotong-sepotong. Allah SWT telah memerintahkan hal dalam firman-Nya :

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 208)

Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita tidak bisa membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau bukan ?

Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya. Katakanlah sebagai contoh mudah misalnya tentang memahami perbuatan Rasulullah SAW. Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung dari syariat agama ini ? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari syariat ?

Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah SAW naik unta, minum susu kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, di rumahnya tidak ada wc dan seterusnya. Apakah hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai pengejawantahan bahwa Rasululah SAW adalah suri teladan ? Apakah kita juga harus naik unta ? Haruskah kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu ? Apakah para khatib wajib berkhutbah sambil memegang tongkat ? Dan tegakah kita berintinja` hanya dengan batu ? Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah SAW melakukannya ?

Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan perkataan beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan patokan. Metodologi itu adalah syariat Islam.

Dengan syariat Islam, kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam. Dan manakah yang bukan termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata.

Penutup

Itulah beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama. Betapa syariat Islam ini memang perlu kita pelajari dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu menunggu dan membuang waktu. Sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai belajar. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kita masuk surga karena kita telah menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu keislaman selama di dunia ini.

Zuhud Terhadap Dunia


Dari Sahal bin Sa’ad ra.; ia berkata: “Seorang lelaki menemui Rasulullah beritahukanlah aku akan suatu amal yang bila kulakukan, Allah dan manusia aka mecintaiku.’ Nabi saw. menjawab: ‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah aka mecintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mecintaimu.’”

Zuhud terhadap dunia adalah sebuah ungkapan umum. Tapi yang dimaksud bukanlah melepaskan dan mencampakkannya dari tangan sama sekali, lalu duduk dengan tangan hampa. Namun maksudnya adalah mengeluarkan dunia dari hati, dan tidak membiarkannya menguasai hati, sehingga harta hanya berada dalam genggaman, bukan dalam hati.

Melepaska dunia dari tangan dan membiarkannya menguasai hati tidak dinamakan zuhud. Zuhud adalah membuang dunia dari hati saat ia berada dalam kekuasaan Anda. Demikianlah halnya para Khalifah Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka zuhud ketika semua khazanah harta berada dalam genggamannya. Bahkan segala pintu dunia dibukakan untuk penghulu anak cucu Adam, rasulullah saw. namun, semuanya justru menambah kezuhudan beliau.


Hal-Hal yang Bisa Menumbuhkan Zuhud


Ada tiga hal yang bisa membantu tumbuhnya sikap zuhud ini, yaitu:

Pertama, kesadaran hamba bahwa dunia hanyalah naungan sementara, sekedar angan yang datang bertamu, persis seperti apa yang difirmankan Allah:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya menakjubkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur” (al-Hadid [57]: 20)

Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah laksana air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah degan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang. Lalu Kami jadikan (tanam-tanamanya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami terangkan tanda-tanda kekuasaan (Kami) bagi kaum yang berpikir” (Yunus [10]: 24).

Allah juga mejelaskan dalam ayat berikut:

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Kahfi [18]: 45).

Kehidupan dunia disebut oleh Allah sebagai “perhiasan yang menipu” dan Dia memperingatkan kita agar jangan erpedaya olehnya. Selain mengabarkan pada kita tentang buruknya akibat orang yang terbuai dunia, Allah juga mencela orang yang terpedaya dan merasa tenteram denga kenikmatan dunia.

Dari Ibnu Abbas ra. Dituturkan bahwa Rasulullah saw. ditemui Umar, sementara beliau tidur di atas tikar kasar yang membekas pada punggungnya. Kata Umar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau aku membuatkan kasur yang lebih halus dari ini?” Jawab beliau, “Apakah arti dunia bagiku. Aku dan dunia tidak lebih seperti seorang musafir yang suatu saat berjalan di bawah terik matahari kemudian ia berteduh di bawah pohon beberapa saat di siang hari, lalu berlalu da pergi meninggalkanya.”

Cermatilah tamsil yang indah ini da kesesuaiannya degan kenyataan. Hijau dunia ini bagaikan pohon. Cepat hilang dan pergi, bagai bayangan. Hamba adalah sang musafir menuju Allah, yang berteduh di bawah rindang pohon dari terpaan teriknya panas mentari. Tak pantas ia membangun rumah di bawahnya untuk tempat tinggal. Ia hanya berlindung di sana sebatas keperluan, dan barangsiapa yang berteduh melebihi hajatnya, maka putuslah hubungannya degan Sang Kekasih.

Dari Ubay bin Ka’ab ra.; ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya makanan aak Adam telah dijadikan sebagai perumpamaan tentang dunia. Lihatlah apa yang keluar dari perut anak Adam, sekalipun ia memasaknya dengan lezat tetapi sudah diketahui ke mana akhirnya.”

Dari Ibnu Mas’ud ra.; ia berujar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan dunia seluruhnya tak berharga. Yang tersisa hanya sedikit dari yang sedikit itu. Sisa dari dunia itu bagai got yang diambil jernihnya dan sisa yang tertinggal hanyalah kotoran.”

Dari Sahal bin Sa’ad ra.; ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Andai saja dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan diberi minum darinya walau seteguk air.”

Dari Abu Hurairah ra.; ia berkata, “Kudengar Rasulullah saw. bersabda:

“Dunia dan apa yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali dzikir pada Allah da penopangnya, orang berilmu atau penuntut ilmu.”

Dari Jabir bin Abdullah disebutka bahwa rasulullah saw. melewati orang banyak di pasar. Saat melewati bangkai anak kambing bertelinga kecil, beliau mengambilnya. Sambil menjinjing telinganya, Rasulullah bertanya, “Inginkah kalian mengganti denga harga satu dirham?” Jawab mereka: “Tidak ada sesuatu pun yang kami sukai darinya, dan tidak ada yang bisa kami lakukan dengannya.” Beliau bertanya lagi: “Bila diberi, apa kalian tidak mau?” jawab mereka: “Demi Allah, sekiranya masih hidup, binatang itu pun bercacat—karena berkuping sangat kecil, apalagi sudah menjadi bangkai.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Wallahi, dunia jauh lebih hina di mata Allah dibanding perasaan kalian terhadap bangkai kambing ini.”

Orang yang terperdaya dan merasa nyaman dengan kenikmatan dunia hayalah orang yang berselerah rendah, berakal picik dan berkemauan lemah.

Kedua, kesadaran hamba di balik dunia, ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih penting, yaitu kampung keabadian. Nilai dibanding akhirat adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:

“Demi Allah, dunia dibanding akhirat ibarat seorang yang mencelupkan tangannya ke laut; dunia adalah tetesan air yang menempel di jarinya.

Seorang yang zuhud adalah seperti laki-laki yang memegang dirham palsu, lalu seseorang berkata kepadanya: "“uanglah uang itu. Sebagai gantinya, Anda mendapat seratus ribu dinar emas.” Ia pun membuangnya, karena mengharap ganti itu. Maka zuhud terhadap dunia adalah kecintaan pada sesuatu yang jauh lebih besar.

Ketiga, kesadaran hamba bahwa sikap zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi apa yang telah ditakdirkan. Demikian pula ambisinya terhadap dunia tidak akan mampu mendatangkan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Bila hal ini telah diyakini sepenuhnya hingga tingkat ilmul-yaqin, maka ia akan mudah bersikap zuhud terhadap dunia.

Bila ia telah meyakini hal ini, hatinya pun merasa senang dan sadar bahwa jatah dunia yang telah ditetapkan untuknya pasti akan datang kepadanya, sehingga segala ambisi, jerih payah dan kerja kerasnya tak berguna. Sedang orang yang berakal sehat tentu tidak mau membuang tenaganya secara percuma.

Tiga hal di atas akan memudahkan seorang hamba untuk bersikap zuhud dan akan meneguhkan kakinya menapaki maqam ini. Allah memberi taufiq kepada hamba yang dikehendaki-Nya.