
Dari Sahal bin Sa’ad ra.; ia berkata: “Seorang lelaki menemui Rasulullah beritahukanlah aku akan suatu amal yang bila kulakukan, Allah dan manusia aka mecintaiku.’ Nabi saw. menjawab: ‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah aka mecintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mecintaimu.’”
Zuhud terhadap dunia adalah sebuah ungkapan umum. Tapi yang dimaksud bukanlah melepaskan dan mencampakkannya dari tangan sama sekali, lalu duduk dengan tangan hampa. Namun maksudnya adalah mengeluarkan dunia dari hati, dan tidak membiarkannya menguasai hati, sehingga harta hanya berada dalam genggaman, bukan dalam hati.
Melepaska dunia dari tangan dan membiarkannya menguasai hati tidak dinamakan zuhud. Zuhud adalah membuang dunia dari hati saat ia berada dalam kekuasaan Anda. Demikianlah halnya para Khalifah Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka zuhud ketika semua khazanah harta berada dalam genggamannya. Bahkan segala pintu dunia dibukakan untuk penghulu anak cucu Adam, rasulullah saw. namun, semuanya justru menambah kezuhudan beliau.
Hal-Hal yang Bisa Menumbuhkan Zuhud
Pertama, kesadaran hamba bahwa dunia hanyalah naungan sementara, sekedar angan yang datang bertamu, persis seperti apa yang difirmankan Allah:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya menakjubkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur” (al-Hadid [57]: 20)
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah laksana air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah degan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang. Lalu Kami jadikan (tanam-tanamanya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami terangkan tanda-tanda kekuasaan (Kami) bagi kaum yang berpikir” (Yunus [10]: 24).
Allah juga mejelaskan dalam ayat berikut:
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Kahfi [18]: 45).
Kehidupan dunia disebut oleh Allah sebagai “perhiasan yang menipu” dan Dia memperingatkan kita agar jangan erpedaya olehnya. Selain mengabarkan pada kita tentang buruknya akibat orang yang terbuai dunia, Allah juga mencela orang yang terpedaya dan merasa tenteram denga kenikmatan dunia.
Dari Ibnu Abbas ra. Dituturkan bahwa Rasulullah saw. ditemui Umar, sementara beliau tidur di atas tikar kasar yang membekas pada punggungnya. Kata Umar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau aku membuatkan kasur yang lebih halus dari ini?” Jawab beliau, “Apakah arti dunia bagiku. Aku dan dunia tidak lebih seperti seorang musafir yang suatu saat berjalan di bawah terik matahari kemudian ia berteduh di bawah pohon beberapa saat di siang hari, lalu berlalu da pergi meninggalkanya.”
Cermatilah tamsil yang indah ini da kesesuaiannya degan kenyataan. Hijau dunia ini bagaikan pohon. Cepat hilang dan pergi, bagai bayangan. Hamba adalah sang musafir menuju Allah, yang berteduh di bawah rindang pohon dari terpaan teriknya panas mentari. Tak pantas ia membangun rumah di bawahnya untuk tempat tinggal. Ia hanya berlindung di sana sebatas keperluan, dan barangsiapa yang berteduh melebihi hajatnya, maka putuslah hubungannya degan Sang Kekasih.
Dari Ubay bin Ka’ab ra.; ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya makanan aak Adam telah dijadikan sebagai perumpamaan tentang dunia. Lihatlah apa yang keluar dari perut anak Adam, sekalipun ia memasaknya dengan lezat tetapi sudah diketahui ke mana akhirnya.”
Dari Ibnu Mas’ud ra.; ia berujar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan dunia seluruhnya tak berharga. Yang tersisa hanya sedikit dari yang sedikit itu. Sisa dari dunia itu bagai got yang diambil jernihnya dan sisa yang tertinggal hanyalah kotoran.”
Dari Sahal bin Sa’ad ra.; ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Andai saja dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan diberi minum darinya walau seteguk air.”
Dari Abu Hurairah ra.; ia berkata, “Kudengar Rasulullah saw. bersabda:
“Dunia dan apa yang ada di dalamnya terlaknat, kecuali dzikir pada Allah da penopangnya, orang berilmu atau penuntut ilmu.”
Dari Jabir bin Abdullah disebutka bahwa rasulullah saw. melewati orang banyak di pasar. Saat melewati bangkai anak kambing bertelinga kecil, beliau mengambilnya. Sambil menjinjing telinganya, Rasulullah bertanya, “Inginkah kalian mengganti denga harga satu dirham?” Jawab mereka: “Tidak ada sesuatu pun yang kami sukai darinya, dan tidak ada yang bisa kami lakukan dengannya.” Beliau bertanya lagi: “Bila diberi, apa kalian tidak mau?” jawab mereka: “Demi Allah, sekiranya masih hidup, binatang itu pun bercacat—karena berkuping sangat kecil, apalagi sudah menjadi bangkai.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Wallahi, dunia jauh lebih hina di mata Allah dibanding perasaan kalian terhadap bangkai kambing ini.”
Orang yang terperdaya dan merasa nyaman dengan kenikmatan dunia hayalah orang yang berselerah rendah, berakal picik dan berkemauan lemah.
Kedua, kesadaran hamba di balik dunia, ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih penting, yaitu kampung keabadian. Nilai dibanding akhirat adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
“Demi Allah, dunia dibanding akhirat ibarat seorang yang mencelupkan tangannya ke laut; dunia adalah tetesan air yang menempel di jarinya.
Seorang yang zuhud adalah seperti laki-laki yang memegang dirham palsu, lalu seseorang berkata kepadanya: "“uanglah uang itu. Sebagai gantinya, Anda mendapat seratus ribu dinar emas.” Ia pun membuangnya, karena mengharap ganti itu. Maka zuhud terhadap dunia adalah kecintaan pada sesuatu yang jauh lebih besar.
Ketiga, kesadaran hamba bahwa sikap zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi apa yang telah ditakdirkan. Demikian pula ambisinya terhadap dunia tidak akan mampu mendatangkan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Bila hal ini telah diyakini sepenuhnya hingga tingkat ilmul-yaqin, maka ia akan mudah bersikap zuhud terhadap dunia.
Bila ia telah meyakini hal ini, hatinya pun merasa senang dan sadar bahwa jatah dunia yang telah ditetapkan untuknya pasti akan datang kepadanya, sehingga segala ambisi, jerih payah dan kerja kerasnya tak berguna. Sedang orang yang berakal sehat tentu tidak mau membuang tenaganya secara percuma.
Tiga hal di atas akan memudahkan seorang hamba untuk bersikap zuhud dan akan meneguhkan kakinya menapaki maqam ini. Allah memberi taufiq kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar